Karomah dan Tangis Syaikh Maimoen Zubair di Mesir

Ustad wahyudi | Mbah Moen

Karomah dan tangis Mbah yai Maimoen Zubair saat di mesir - Perjalanan Syaikhona Maimoen Zubair ke tempat lahir dan tempat wafatnya Syaikh Abil Hasan Asy-Syadzily.

Syaikh Abil Hasan Asy-Syadzili lahir di Ghumaroh Maroko, sebelah selatan Spanyol, dekat Samudera Atlantik (Barat). Negara Maroko termasuk dalam benua Afrika.

Dan Wafat di Humaistaroh Mesir, daerah sebelah barat Saudi Arabia. Mesir pun masuk termasuk benua Afrika.

(lahir di barat, wafat di timur).

Beliaulah yang mendirikan thoriqoh Syadziliyyah.

***

Disamping sebagai ulama yang mengajarkan berbagai ilmu agama di dalam maupun di luar pondok, Syaikhona Maimoen juga berkhidmah di Jam'iyyah Thoriqoh Mu'tabaroh An-Nahdliyyah mulai tahun 1989 sampai 2000. Beliau menjadi salah satu rais pada Jam'iyyah itu.

Dan sebagai Mursyid Syadziliyyah beliau menyempatkan diri untuk berkunjung ke tempat lahir serta berziarah ke maqbaroh Syaikh Abil Hasan Asy-Syadzily.

Pada tahun 2005 Mbah Yai berkunjung ke Luxor dan Aswan Mesir. Setelah itu beliau ziarah maqbaroh Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzily. Hal itu seperti diceritakan oleh Dr. KH. Fadlolan Musyaffa’.

Mas Fadlolan berkhidmah tiga kali saat Mbah Yai Maimoen tiap kali ke Mesir. Mbah Yai diagendakan ziarah wisata ke Luxor dan Aswan didampingi Ibu Nyai Heni Maryam.

Saat di ruang boarding Airport Cairo, Mbah Yai berkata kepada Mas Fadlolan: “Mas Fadlolan, nanti kita ziarah ke Imam Syadzily ya…!!!”.

Ajakan itu terasa berat bagi Mas Fadlolan, karena tiket pesawat PP Ciro-Luxor-Cairo sudah dibeli. Biasanya kalau ziarah ke makam Imam Syadzili, mesti nginap, karena perjalanan tidak cukup pulang-pergi sehari semalam. Jarak tempuh Cairo Luxor +- 900 km dengan pesawat terbang, Luxor Humaisarah perkampungan Imam Syadzili +-400 km dengan jalan darat. Jalan sepi tidak begitu baik aspalnya. Maklum bukan jalur wisata turis. Yang paling aneh jalur ini tidak ada fasilitas kehidupan (tidak ada listrik, air, sinyal telpon, pom bensin, toilet, warung, dan lain-lain. Tidak ada sama sekali). Akan tetapi saat itu perjalanan bersama Mbah Yai berangkat pukul 07.00 kembali pukul 20.00.

Mas Fadlolan memang sudah berniat untuk berkhidmah kepada Mbah Yai, maka ia pun melepon seorang kawannya yaitu orang Mesir yang siap menjemput di bandara Luxor.

“Ya ammi Fauzi, hal mumkin ziarah ila al Imam Syadzili?”.

Dia jawab, “Mus mumkin/tidak mungkin”.

Tapi Mas Fadlolan mencoba meyakinkan dia berulang ulang, dan dia tetap menjawab tidak mungkin, karena dia sudah hafal ukuran kilometer perjalanan yang mesti nginap atau kalau langsung balik mesti ketinggalan pesawat dan nginap di Luxor.

Singkat cerita, Mas Fadlolan pun harus berkata: Kita coba, jika bisa PP ya alhamdulillah, bila tidak bisa ya kita nginap di Luxor dan tiket pesawat kita hangus". Akhirnya si Fauzi menyetujui.

Rombongan perjalanan yaitu Mbah Maimoen, Ibu Heny Maryam, Mas Fadlolan dan sopir tiba di bandara Luxor pukul 08.00 lalu mereka sarapan minum hangat sambil menunggu pintu gerbang Ma’bad Luxor atau Luxor Temple (Kuil tempat ibadah Firaun yang di Luxor) pukul 08.30 mulai masuk.

KH. Maimoen Zubair sangat mengagumi peninggalan Firaun. Beliau sambil mengajari Mas Fadlolan supaya senang sejarah peradaban. Saking senangnya, beliau lalui dua lokasi Ma’bad Luxor sambil cerita ayat-ayat kauniyat dihubungkan dengan ayat-ayat al-Quran, sambil foto-foto yang diabadikan.

Mas Fadlolan sering mengingatkan: "Jadi ke makam Imam Syadzili Mbah Yai?".
Beliau jawab: "Iya, Jadi".

Karena sudah pukul 10.30, namun saking asyiknya, beliau tidak terasa capek. Mas Fadlolan ingatkan ulang, dan beliau berkata: "Njih monggo berangkat ke Imam Syadzili".

Tepat pukul 11.00 beliau naikkan mobil sedan Daewoo yang sering direntalnya sekalian sopirnya, lalu meluncur cepat menuju Edfo, 100 km perbatasan Luxor dengan padang pasir yang tidak ada fasilitas kehidupan.

Tiba di Edfo pukul 13.30, mereka salat jamak taqdim, lalu makan siang di warung samping mushalla tersebut. Di sinilah kekeramatan KH. Maimoen Zubair, mulai tampak.

Seorang ibu pemilik warung makan, tiba-tiba keluar membawa air botol aqua besar, seraya berkata: “Ya Syekh, ud’u li zauji, wa hua maridh” / ”Ya Syekh, doakan suami saya, ia sedang sakit”.

Beliau langsung terima botolnya dan didoakan seperti biasa tamu-tamu di ndalem Sarang pada minta doa. Lalu beliau bertanya: “Aina zajak” / ”Dimana suamimu” lalu diajak ke kamarnya disuwuk dan diolesi air yang di botol tersebut.

Saat akan pamitan, mau bayar warung, sungguh saling menjaga wirai, maunya yang punya warung tidak mau dibayar, tapi si Mbah KH. Maimoen Zubair tetap membayar. Di situlah kekeramatan beliau terbaca oleh rombongan semua, terutama sang sopir amu/Lik Fauzi mulai kagum dan semakin percaya membawa seorang alim allamah.

Mereka meninggalkan warung pukul 14.30 menuju Humaisarah yang jaraknya sekiatar 300 km. Pukul 17.00 mereka tiba, lalu ambil wudlu dan ziarah. Mbah Maimoen Zubair membaca Hizb Nasr, tahlil singkat dan berdoa.

Tepat pukul 17.45 matahari gelap. Mereka segera meneruskan perjalanan kembali ke Luxor. Kekeramatan Syaikhona KH. Maimoen Zubair, tidak bisa ditutupi lagi, semakin jelas.

Beliau duduk sila di jok belakang bersama ibu Nyai Heni Maryam, wiridan. Mas Fadlolan di jok samping sopir. Melihat jam yang harusnya kami sudah tiba di bandara Luxoor pukul 18.30 (dulu belum ada check in online) tapi Mas Fadlolan hanya berdoa semoga kebagian pesawat. Semakin semangat sopir Arab itu, lupa kalau mobilnya itu sedan Daewoo tua, kok diajak lari 150-160/km. Mas Fadlolan merasa ban mobil itu tidak nempel aspal. Ditambah jalannya pun tidak begitu baik.

Tapi ia yakin yang karena mobil itu ditumpangi seorang waliyullah Syaikhona KH. Maimoen Zubair, semakin kencang wiridan semakin cepat.

Di tengah perjalanan itu mereka hanya dibekali istri mas Fadlolan cemilan ringan dan lemper buatan malam hari, yang dengan panas matahari sampai sore harinya sudah tidak sehat lagi. Tapi Syaikhona KH. Maimoen Zubair, sangat arif dan mendidiknya untuk qonaah/neriman: “Ayo mas Fadlolan, kita makan lempernya buatan neng Fenti, …itu enak ya…, pinter masak ya istri mas Fadlolan,” katanya.

Lalu mas Fadlolan bergegas menyiapkan makan malam. Mbah Yai pasti butuh kamar kecil untuk bersuci dan jamak salat Maghrib dan Isyak. Maka mas Fadlolan menelepon hotel dekat airport yang bisa menyiapkan makan malam siap santap dan bisa ke kamar kecil dan mushalla.

Perjalanan 400 kilometer sungguh terlipat waktunya hanya 2,5 jam (padahal setiap mas Fadlolan jalan ke sana bila tidak bersama Syaikhona KH. Maimoen Zubair, antar 7-9 jam). Namun pukul 19.00 mereka tiba di Luxor di sebuah restoran hotel, lalu mereka makan malam seafood dengan cepat.

Beliau memberi mas Fadlolan uang 300 pound Mesir, standar umum makan berempat sudah cukup. Ternyata totalan kasir harganya 750 pound Mesir. Si Mbah Maimoen Zubair melihat kalau mas Fadlolan menambahi banyak.

“Mas Fadlolan kok nambah banyak…?” tanya beliau.

Ia jawab, “Tidak nambah Mbah,”.

“Lho saya lihat nambah kok…. “ katanya. Karena orang Arab Mesir biasa ngitung uang diangkat di depan mata dia, maka kelihatan dari jauh jumlah tambahannya lebih banyak.

Ringkas cerita, beliau mendesak pertanyaan:

“Berapa itu tadi mas..?,” tanya

Ia jawab, “750 pound Mbah…..”

Saking tidak ridlanya harga yang terlalu mahal, terucap kata-kata beliau “Laisa minna” / “bukan golongan kita”.

Subhanallah, mereka keluar dari restoran tersebut, tidak lama malam itu restoran terbakar bersama hotelnya, tidak bisa dipadamkan.

Sopir menelepon: “Masyaallah kalumu Syaikh Maemun Khothiir, kalamuhu dua”/ (Omongannya Syaikh Maemun bahaya, omongannya itu doa”. “Al-funduk alladzi na’kul fih mahruq lam yathfihi”/”Hotel yang kita buat makan tadi terbakar tidak bisa dipadamkan”.

Sebelum sampai restoran, mas Fadlolan sempatkan telepon kawan inteligen wilayah Luxor untuk menunda pesawat terbang yang akan mereka tumpangi, karena mas Fadlolan membawa seorang ulama besar dari Indonesia Syekh Maemun Zubair.

Telat sekitar 30-45 menit, mereka sudah dekat airport namun mau ke kamar kecil dan makan malam terlebih dahulu. Alhamdulillah pesawat didelay 30 menit. Perjalanan terlipat jauh lebih cepat, mereka masuk airport tidak usah check in, langsung disambut kawan-kawan mabahist dauli (inteligen Negara Mesir) langsung dikasih boarding pass mereka dan masuk pesawat tanpa urusan.

Begitu masuk pesawat, langsung pintu ditutup dan terbang. Orang Mesir dan turis lain, tertahan 30 menit di dalam pesawat. Begitu melihat mereka orang Indonesia yang menyebabkan mereka di-delay, lalu pada nyeletuk: Ya Andunisi/Hai orang Indonesia…!!!

Saking capeknya, mas Fadlolan ngantuk, tapi Syaikhona Maemun Zubair memegangi tangannya sepanjang perjalanan, dan sering dililing wajahnya seraya berkata: Mas Fadlolan tadi naik apa…?. Ia jawab: “Naik Burok, Mbah”. Beliau jawab: Hiya betul…betul…betul… mas Fadlolan.

Setibanya di Cairo, ia antar beliau istirahat, lalu pagi harinya ia bawakan Koran. Terdapat foto berita hotel yang tempat mereka makan tadi malam terbakar tidak bisa dipadamkan, akibat dingendikani: “laisa minna”. Itulah orang alim dan pengasih.

Ia curi pandang wajah beliau, ternyata air mata mengalir di pipinya, menangis tanda menyesali ucapan beliau yang menjadi doa kesedihan orang lain. Inilah waliyullah yang arif dan penyayang semua makhluk. Perjalanan ini tidak pernah bisa ia ulang seumur hidup ini.

Itulah perjalanan beliau berziarah ke maqbaroh Syaikh Abil Hasan Asy-Syadzily.

Seperti dijelaskan tadi bahwa Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzily lahir di Maroko. Dan pada bulan September 2011, Mbah Yai berziarah ke beberapa ulama Maroko.

Antara lain:

1. Abu Al-Abbas Ahmad (Al-Hasani), pendiri thoriqoh Tijaniyyah, di Fez, Maroko.

2. Ibnu Ajrum As-Shonhaji, pengarang kitab Jurumiyyah, di Fes, Maroko. Kitab beliau dipelajari di pondok-pondok pesantren, termasuk di pondok pesantren Al Anwar.

3. Syaikh Sulaiman Al-Jazuli, Pengarang Dalailul Khoirot, di Marokisy. Dan beliau pernah mengijazahkannya kepada para alumni.

4. Ibnu Bathutah, sang pengeliling dunia, di Tangier.

Disamping itu, Mbah Yai juga bertemu dengan mursyid thoriqoh Tijaniyyah, Prof. Dr. Ahmed Yesif. Dan juga bertemu dengan salah seorang keturunan dari Ibnu Bathutah, yaitu: Dr. Mariam Ait Ahmed.

Salah satu amalan dari Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzily yang diamalkan adalah hizb nashor.

Selain itu, pada doa Yasin Fadlilah juga diselipkan sholawat Fatih, yaitu Sholawat Thoriqoh Tijaniyyah.

Dari kisah di atas, kita bisa mengetahui bahwa sebagai Mursyid Syadziliyyah, Mbah Maimoen mengunjungi tempat lahir dan tempat wafatnya pendiri thoriqoh Syadziliyyah.

Walaupun Mbah Maimoen lahir di daerah timur (Sarang), akan tetapi wafat dan dimaqbarohkan di daerah barat (Makkah).

Pada saat sholat shubuh hari Jum'at rokaat kedua Mbah Yai seringkali membaca surat Al-Kahfi yang menceritakan tentang Dzul Qornain. Dzul Qornain pertama kali datang ke daerah terbenamnya matahari, yaitu di samudera Atlantik.

حتى إذا بلغ مغرب الشمس وجدها تغرب في عين حمئة ووجد عندها قوما.

Dan dari perjalanan beliau ke tempat lahir Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzily di Maroko bisa didapatkan pelajaran bahwa Mbah Yai pun sampai ke Samudera Atlantik.

Inilah salah satu perjalanan beliau, In Syaa ALLOH lain waktu akan kita tulis perjalanan beliau ke Maqbaroh Syaikh Baha'uddin An-Naqsyabandi.

***
والسلام علي يوم ولدت ويوم أموت ويوم أبعث حيا
وسلام عليه يوم ولد ويوم يموت ويوم يبعث حيا.


Penulis Kiai Wahyudi (Khadam Syaikhina Maimoen Zubair Sarang Rembang), Selasa 21 April 2020

Belum ada Komentar untuk "Karomah dan Tangis Syaikh Maimoen Zubair di Mesir"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel